Tag: Sebi

  • Mimpi Adalah Kunci Dalam Kehidupan

    Mimpi Adalah Kunci Dalam Kehidupan

    Oleh: Guna Reksoko

    Program Studi : Akuntasi Syari’ah

    Instansi : IAI SEBI

    Setiap orang punya mimpi. Ada yang besar banget, ada juga yang sederhana tapi tetap berarti. Mimpi itu kayak bahan bakar yang bikin kita mau jalan terus, meski kadang capek. Tanpa mimpi, hidup bisa berasa hambar, rutinitas doang tanpa arah. Bangun, sekolah atau kerja, pulang, tidur, ulang lagi. Tapi kalau kita punya mimpi, semua kegiatan sehari-hari punya makna yang lebih.

    Coba bayangin anak sekolah yang tiap malam harus begadang buat belajar. Kalau dia nggak punya tujuan, belajar bisa jadi beban. Tapi kalau dia punya mimpi, misalnya pengin jadi guru, dokter, atau yang lainnya, kata belajar berubah jadi sesuatu yang penting. Belajar bukan lagi kewajiban, tapi langkah kecil buat mendekati mimpinya.

    Hal yang sama juga berlaku buat orang yang bekerja. Kadang kerjaan itu bikin stres, banyak tugas, target numpuk, dimarahin atasan. Tapi kalau kita ingat mimpi, misalnya pengin bangun rumah buat keluarga, atau pengin usaha sendiri nanti, kata kerja jadi punya arti. Capek memang, tapi ada harapan di balik capek itu.

    Mimpi juga bisa bikin kata-kata lain terasa beda. Kata sabar, misalnya. Waktu mimpi kita belum tercapai, sabar itu jadi teman. Kata usaha jadi penyemangat. Kata gagal jadi pelajaran, bukan akhir. Bahkan kata doa pun terasa lebih dalam, karena kita titipin mimpi itu ke Tuhan. Jadi, bisa dibilang mimpi itu bukan cuma kunci, tapi juga yang bikin kata-kata sehari-hari menjadi penyemangat untuk kita.

    Kalau dipikir-pikir, banyak orang sukses lahir dari mimpi sederhana. Ada yang dulu bercita-cita keluar dari kemiskinan, lalu berusaha keras sampai jadi pengusaha. Ada juga yang dulu cuma suka menulis di buku harian, tapi mimpinya bikin dia jadi penulis terkenal. Dari mereka kita belajar, mimpi itu memang kunci, tapi kunci harus dipakai. Kalau cuma digenggam tanpa usaha, pintu nggak akan kebuka.

    Masalahnya, kadang kita suka takut bermimpi. Kita mikir, ah mimpi terlalu tinggi, nanti malah kecewa. Padahal, justru dengan mimpi kita punya arah. Mau tinggi atau rendah, mimpi tetap penting. Yang bikin kecewa bukan mimpinya, tapi kalau kita berhenti berusaha. Karena mimpi itu bukan sekadar tujuan akhir, tapi juga perjalanan yang kita jalani tiap hari.

    Jadi, yuk berani bermimpi. Biarkan mimpi itu hadir dalam kata-kata sehari-hari kita. Biar kata belajar nggak lagi membosankan, kata kerja nggak lagi terasa sia-sia, dan kata lelah bisa berubah jadi kata bangga. Ingat, mimpi adalah kunci. Kita yang pegang, kita yang tentuin mau dipakai atau disimpan. Kalau berani pakai, pintu masa depan pasti terbuka.

     

  • Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat

    Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat

     

    Penulis: Habibi Abdul Azis

    (Mahasiswa IAI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

    Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk akad dalam fikih muamalah yang hingga kini masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Praktik ini muncul sebagai solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya ketika seseorang membutuhkan dana mendesak dengan cara menjaminkan barang berharga yang dimilikinya.

    Dalam tradisi masyarakat, gadai dilakukan tidak hanya melalui lembaga formal seperti Pegadaian, tetapi juga secara informal antar individu dengan mekanisme yang lebih sederhana dan berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa gadai memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut, berikut penjelasan selengkapnya.

    Definisi Gadai

    Secara bahasa, gadai atau rahn berarti menahan sebuah barang dalam jangka waktu tertentu. Dalam istilah Arab juga dikenal kata al-habsu, yang artinya menahan barang sebagai jaminan pelunasan utang. Jadi, pada dasarnya, gadai adalah praktik menahan harta sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Barang yang digadaikan ini menjadi penopang agar utang bisa terjamin.

    Secara istilah, ar-rahn dimaknai sebagai menahan harta milik peminjam sebagai jaminan utang, dengan catatan barang tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan begitu, pihak pemberi pinjaman punya hak untuk mengambil kembali sebagian atau seluruh piutangnya melalui barang jaminan tersebut, bila peminjam tidak mampu melunasi utangnya.

    Para ulama fikih punya pandangan yang beragam soal definisi rahn. Ulama Mazhab Maliki menyebutnya sebagai harta yang dijadikan jaminan utang dan bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi menekankan bahwa barang jaminan itu bisa dipakai untuk melunasi utang, baik sebagian maupun seluruhnya.

    Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali memandang rahn sebagai sebuah akad yang menjadikan barang sebagai agunan, yang bisa dipakai melunasi utang kalau pemiliknya tidak mampu membayar.

    Dasar Hukum Gadai

    1. Al-Qur’an

    Hukum gadai punya landasan kuat dalam Al-Qur’an. Salah satunya ada di surat Al-Baqarah ayat 283, ketika Allah SWT berfirman:

     

    وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

    Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

    Dari ayat ini, dijelaskan bahwa dalam kondisi tertentu misalnya saat bepergian dan tidak ada pencatat transaksi Allah SWT memperbolehkan penggunaan barang jaminan (marhun) untuk memperkuat perjanjian utang piutang. Intinya, barang jaminan hadir sebagai alat menjaga kepercayaan agar pemberi pinjaman tidak ragu dengan pihak peminjam.

    1. Hadis

    Selain dari Al-Qur’an, dalil tentang gadai juga ada dalam hadis. Misalnya riwayat Imam al-Bukhari nomor 2330, ketika Aisyah ra. berkata:

    حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

    Artinya: “Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi tersebut.” (HR. Bukhari, no. 2330).

    Hadis ini jadi bukti bahwa transaksi gadai boleh dilakukan, bahkan dengan non-Muslim, termasuk dalam akad jual beli. Syaratnya, objek transaksi merupakan barang halal dan pihak non-Muslim tersebut bukan golongan kafir harbi (yang memerangi Islam). Sebagaimana pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani, selama syarat-syarat tersebut terpenuhi, akad gadai tetap sah.

    Kesimpulannya, akad gadai dalam Islam hukumnya jaiz (boleh). Ulama sepakat kalau praktik ini tidak hanya berlaku saat safar, tapi juga sah dilakukan ketika menetap, sebagaimana pernah dicontohkan Nabi SAW di Madinah.

    Rukun dan Syarat Gadai

    Rukun Gadai

    1. ‘Aqid: Yaitu pihak-pihak yang berakad: rahin (orang yang menggadaikan barang) dan murtahin (pemberi pinjaman yang menerima barang gadai).
    2. Shighat: Ijab dan qabul yang diucapkan kedua belah pihak sebagai tanda sahnya akad.
    3. Marhun: Barang atau objek yang dijadikan jaminan.

    Marhun bih: Utang atau sejumlah uang yang jadi dasar akad rahn, sesuai kesepakatan bersama.

    Syarat Gadai

    1. Syarat ‘Aqid

    Baik rahin maupun murtahin harus orang yang cakap hukum, yakni berakal sehat, baligh, dan mampu melakukan akad. Kalau salah satunya tidak memenuhi syarat, akad jadi tidak sah.

    1. Syarat Shighat

    Ucapan ijab dan qabul harus jelas serta tidak boleh mengandung syarat yang merusak akad. Misalnya, syarat bahwa barang jaminan tidak boleh dijual meskipun peminjam gagal membayar utang, maka syarat itu otomatis batal.

    1. Syarat Marhun (barang jaminan)
    1. Bisa diperjualbelikan.
    2. Bermanfaat menurut syariat.
    3. Jelas dan diketahui dengan pasti.
    4. Milik penuh dari rahin (penggadai).
    5. Terpisah dari kepemilikan orang lain (tidak boleh barang bersama).
    1. Syarat Marhun bih (utang)
    1. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi pinjaman.
    2. Harus bisa dilunasi melalui barang jaminan (marhun).
    3. Jelas dan pasti, baik zat, sifat, maupun jumlahnya.

    Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa gadai (rahn) dalam Islam bukan hanya sekadar praktik ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengandung nilai sosial. Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai definisi, dasar hukum, rukun, dan syarat gadai agar akad ini berjalan sesuai prinsip keadilan dan saling tolong-menolong.

    Dengan memahami ketentuan tersebut, masyarakat dapat menjalankan praktik gadai tanpa keluar dari ketentuan syariat, sekaligus menjadikannya sebagai solusi yang aman dan bermanfaat dalam menghadapi kebutuhan finansial sehari-hari.

  • Zakat sebagai Instrumen Hukum Syariah  dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat

    Zakat sebagai Instrumen Hukum Syariah dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat

     

    Penulis: Bayu umara 

    Pendahuluhan

    Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi ibadah dan sosial. Dalam hukum syariah, zakat adalah kewajiban setiap Muslim yang tidak hanya berkaitan dengan kepemilikan harta, tetapi juga menjadi instrumen penting untuk menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umat.

    Zakat dalam Islam bukan sekadar ibadah ritual, melainkan bagian dari sistem ekonomi Islam yang berlandaskan nilai keadilan, kepedulian, dan pemerataan, sehingga mampu memperkuat perekonomian umat secara berkelanjutan.

    Dalam hukum Islam, kewajiban zakat memiliki dasar yang kuat, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis. Allah SWT berfirman:

    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

    Ayat ini menunjukkan bahwa zakat merupakan kewajiban yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT.

    Lebih dari itu, dalam konteks kenegaraan, zakat juga diatur melalui perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang memperkuat status zakat sebagai instrumen hukum positif di Indonesia.

    Dengan demikian, zakat bukan hanya kewajiban moral dan spiritual, tetapi juga kewajiban hukum yang dapat ditegakkan oleh negara.

    Peran Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi

    zakat instrumen hukum

    Zakat berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan dari golongan yang mampu (muzakki) kepada yang membutuhkan (mustahik), yang terdiri dari delapan golongan seperti fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil.

    Dalam praktiknya, zakat dapat diarahkan untuk mendukung program-program pemberdayaan ekonomi umat, terutama dalam bentuk zakat produktif.

    Zakat produktif adalah penyaluran dana zakat dalam bentuk bantuan modal usaha, pelatihan keterampilan, atau sarana produksi, yang bertujuan agar mustahik dapat mandiri secara ekonomi.

    Model ini bukan hanya memenuhi kebutuhan sesaat, melainkan menjadi solusi jangka panjang dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dalam kerangka ekonomi syariah, zakat menjadi pilar penting dalam menjaga sirkulasi kekayaan agar tidak terpusat pada segelintir kelompok saja.

    Dengan adanya zakat, kekayaan akan terus mengalir dan memberikan efek ekonomi yang berkelanjutan di masyarakat.

    Zakat yang dikelola secara profesional dan transparan dapat menjadi instrumen strategis dalam pembangunan ekonomi umat, terutama di tengah ketimpangan ekonomi yang masih menjadi masalah global.

    Contohnya, banyak lembaga amil zakat yang telah berhasil memberdayakan mustahik menjadi muzakki dalam waktu beberapa tahun melalui program pelatihan wirausaha dan pendampingan intensif. Hal ini membuktikan bahwa zakat memiliki potensi sebagai alat transformasi sosial yang sangat efektif.

    Tantangan dan Solusi

    Namun demikian, efektivitas zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi umat masih menghadapi berbagai tantangan.

    Salah satunya adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat melalui lembaga resmi, serta kurangnya sinergi antara pemerintah, ulama, dan lembaga zakat.

    Di samping itu, pengelolaan zakat yang belum optimal sering kali menyebabkan zakat hanya bersifat konsumtif, bukan produktif. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat.

    Pemerintah harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap pengelolaan zakat. Lembaga zakat perlu meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan inovasi dalam program-program pemberdayaan.

    Sementara itu, masyarakat perlu diedukasi bahwa menunaikan zakat melalui lembaga yang amanah akan memberikan dampak yang lebih luas dan terukur.

    Kesimpulan

    Zakat bukan hanya kewajiban spiritual, tetapi juga instrumen hukum syariah yang memiliki potensi besar dalam pemberdayaan ekonomi umat.

    Dengan pengelolaan yang baik dan sinergis, zakat dapat menjadi solusi konkret dalam mengatasi kemiskinan, meningkatkan kemandirian ekonomi, serta mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.

    Oleh karena itu, penguatan peran zakat dalam sistem ekonomi nasional merupakan langkah strategis dalam pembangunan umat menuju kesejahteraan yang berkeadilan.

  • Kondisi Hukum di Indonesia Saat Ini: Antara Tantangan dan Harapan

    Kondisi Hukum di Indonesia Saat Ini: Antara Tantangan dan Harapan


    Penulis:
    BAYU UMARA

     

    Pendahuluan

    Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan hukum sebagai landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Namun, realitas pelaksanaan hukum di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, meskipun harapan akan perbaikan dan reformasi tetap terus menyala di tengah masyarakat.

    Tantangan Penegakan Hukum

    Salah satu tantangan utama dalam sistem hukum Indonesia saat ini adalah masih maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terutama di lembaga penegak hukum itu sendiri.

    Kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, menjadi ironi yang mencederai kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, menunjukkan masih adanya ketimpangan dalam perlakuan hukum. Selain itu, inkonsistensi penegakan hukum  juga menjadi persoalan serius.

    Dalam banyak kasus, hukum dipraktikkan secara tidak adil atau bahkan diskriminatif, baik dalam ranah pidana, perdata, maupun administratif.

    Perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dan kelompok elite menjadi sorotan yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum. Tantangan lainnya adalah overlapping regulasi dan lemahnya sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan.

    Banyak produk hukum yang tumpang tindih, tidak sinkron, bahkan bertentangan satu sama lain, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini menyulitkan pelaksanaan hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.

    Tantangan di Bidang Legislasi

    Dalam hal legislasi, DPR sebagai lembaga legislatif sering mendapat kritik atas minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang.

    Beberapa undang-undang yang disahkan dalam waktu singkat, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat sipil yang merasa aspirasi mereka diabaikan.

    Proses legislasi yang tertutup dan minim transparansi ini menjadi catatan buruk bagi demokrasi hukum di Indonesia.

    Harapan dan Peluang Perbaikan

    Meski banyak tantangan, harapan akan perbaikan hukum di Indonesia tetap terbuka lebar. Masyarakat sipil kini semakin sadar hukum dan aktif dalam mengawal proses legislasi dan penegakan hukum.

    Keterlibatan masyarakat dalam advokasi hukum, judicial review, hingga demonstrasi menunjukkan bahwa kontrol sosial terhadap kekuasaan masih berjalan. Reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, seperti upaya pembenahan internal di tubuh Polri dan Kejaksaan, juga merupakan langkah positif yang perlu terus didorong.

    Penerapan teknologi informasi seperti  e-court, e-tilang, dan  SPPT-TI (Sistem Penanganan Perkara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi)  merupakan inovasi yang mendukung transparansi dan efisiensi dalam sistem peradilan.

    Di sisi lain, lembaga-lembaga pengawasan seperti  Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan  Ombudsman  perlu diperkuat baik secara kelembagaan maupun kewenangannya, agar dapat menjalankan fungsi pengawasan secara optimal tanpa intervensi dari kekuasaan politik.

    Pendidikan dan Budaya Hukum

    Penting pula untuk membangun *budaya hukum* di tengah masyarakat. Pendidikan hukum sejak dini, baik melalui institusi formal maupun kampanye publik, dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

    Ketika masyarakat melek hukum, maka kontrol terhadap aparat penegak hukum juga akan lebih kuat, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalisir.

    Kesimpulan

    Kondisi hukum di Indonesia saat ini masih diliputi berbagai tantangan mulai dari korupsi, diskriminasi hukum, hingga lemahnya legislasi.

    Namun demikian, harapan tetap terbuka melalui partisipasi masyarakat, reformasi kelembagaan, serta pemanfaatan teknologi.

    Diperlukan sinergi antara pemerintah, penegak hukum, akademisi, dan masyarakat untuk mewujudkan sistem hukum yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

    Hanya dengan komitmen bersama, Indonesia dapat benar-benar menjadi negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.

  • Menembus Lingkaran Kemiskinan: Peran Zakat dalam Memberdayakan Kaum Fakir

    Menembus Lingkaran Kemiskinan: Peran Zakat dalam Memberdayakan Kaum Fakir

     

    Oleh: Habibi Abdul Azis
    (Mahasiswa STEI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

     

    Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki peran strategis dalam membangun keadilan sosial dan memperkuat fondasi ekonomi umat. Di tengah ketimpangan ekonomi dan problematika sosial yang kian kompleks, zakat hadir bukan hanya sebagai ritual spiritual, tetapi sebagai instrumen distribusi kekayaan yang nyata dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

    Salah satu kelompok yang sangat diutamakan dalam penerimaan zakat adalah fakir—mereka yang nyaris tak memiliki sumber daya untuk bertahan hidup.

    Dalam konteks fikih, para ulama menjelaskan bahwa fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan memadai, bahkan tidak mampu memenuhi setengah dari kebutuhannya sehari-hari. Definisi ini menjadikan mereka sebagai kelompok prioritas yang harus segera dibantu.

    Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa fakir adalah orang yang sangat membutuhkan, namun tetap menjaga kehormatannya dan tidak meminta-minta. Sementara itu, Wahbah al-Zuhayli menyebutkan bahwa fakir adalah seseorang yang tidak memiliki harta maupun pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Pendapat ini sejalan dengan pandangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.

    Oleh karena itu, zakat yang diberikan kepada golongan fakir bukan sekadar sedekah biasa, melainkan merupakan wujud nyata dari keadilan sosial dan tanggung jawab kolektif umat Islam.

    Di Indonesia, pengelolaan zakat telah menjadi bagian dari sistem kelembagaan yang terorganisir melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan berbagai Lembaga Amil Zakat (LAZ). Penyaluran zakat kepada golongan fakir biasanya dilakukan dalam dua bentuk: konsumtif dan produktif. Bantuan konsumtif umumnya berupa uang tunai atau sembako untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam jangka pendek.

    Namun, seiring berkembangnya pendekatan manajemen zakat, distribusi zakat juga mulai diarahkan kepada pemberdayaan produktif agar mustahik tidak terus bergantung, melainkan dapat tumbuh menjadi mandiri.

    Sayangnya, masih banyak kendala yang dihadapi, terutama dalam hal pendataan mustahik. Banyak dari mereka yang tidak terjangkau karena stigma sosial atau kurangnya sistem pendataan yang akurat. Sering kali, zakat hanya berakhir sebagai bantuan sesaat tanpa memberikan solusi jangka panjang atas kemiskinan yang mereka alami.

    Namun, secercah harapan muncul melalui inovasi program Zakat Community Development (ZCD) yang diinisiasi oleh BAZNAS. Program ini menawarkan pendekatan holistik dalam memberdayakan golongan fakir, melalui pelatihan keterampilan, pemberian bantuan modal, serta pendampingan usaha secara berkelanjutan.

    Efektivitas program ini telah terbukti, di mana warga yang sebelumnya hanya bergantung pada pekerjaan sebagai buruh tani atau bahkan menganggur, kini mampu mengembangkan usaha kecil seperti peternakan, pertanian hortikultura, hingga kerajinan tangan. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya berhasil bertransformasi menjadi muzakki, yaitu orang yang mampu menunaikan zakat.

    Hal ini menjadi bukti nyata bahwa zakat, jika dikelola secara tepat dan profesional, mampu mengangkat martabat manusia dari jurang ketergantungan menuju kemandirian ekonomi.

    Dalam tinjauan fikih, pendekatan seperti Zakat Community Development (ZCD) sejalan dengan maqashid syariah, yaitu hifz an-nafs (menjaga jiwa) dan hifz al-maal (menjaga harta).

    Pendekatan ini juga mendorong agar zakat tidak hanya disalurkan dalam bentuk bantuan konsumtif, tetapi juga diarahkan untuk memberdayakan mustahik agar mereka dapat mandiri dan keluar dari siklus kemiskinan struktural.

    Meskipun demikian, pendekatan produktif tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar yang mendesak dan harus segera dipenuhi. Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara distribusi zakat secara konsumtif dan produktif, agar manfaat zakat dapat dirasakan secara adil, menyeluruh, dan berkelanjutan.

    Ke depan, langkah yang perlu ditempuh bukan hanya soal optimalisasi pengumpulan zakat, tetapi juga membenahi sistem distribusinya. Akurasi data penerima zakat harus ditingkatkan melalui digitalisasi dan kolaborasi lintas sektor.

    Pemerintah daerah juga perlu lebih aktif bersinergi dengan lembaga zakat dalam menyusun program berbasis komunitas yang sesuai dengan kebutuhan lokal.

    Zakat bukan sekadar memberi, melainkan mengangkat martabat. Dan bagi golongan fakir, zakat bisa menjadi jembatan dari keterpurukan menuju kemandirian.

    Sudah saatnya zakat tidak hanya dipahami sebagai kewajiban individu, tetapi sebagai kekuatan kolektif umat dalam menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

  • Keberkahan Dalam Al Qur’an

    Keberkahan Dalam Al Qur’an

     

    Oleh: Aldi Saputra
    Mahasiswa STIE SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

     

    Makna Keberkahan dari keberkahan Al Qur’an sebagai berikut. Kata “keberkahan” adalah terjemah dari kata “al-barakah” ( البَرَكَةُ ). Kata ini ada di dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak.

    Misalnya di dalam firman Allah ‘azza wa jalla :

    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنا عَلَيْهِمْ ‌بَرَكاتٍ ‌مِنَ ‌السَّماءِ وَالْأَرْضِ وَلكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْناهُمْ بِما كانُوا يَكْسِبُونَ

    “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-A’raf : 96)

    Berdasarkan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menyimpulkan bahwa kemaksiatan bisa menghilangkan keberkahan usia, rizki, ilmu, amal dan ketaatan. Atau dikatakan bahwa keberkahan urusan dunia dan urusan agama bisa hilang dengan sebab kemaksiatan. 

    Kata “al-barakah” menurut Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani maknanya adalah “menetapnya kebaikan ilahi pada sesuatu”. 

    Yang dimaksud dengan “kebaikan ilahi” adalah kebaikan yang hakiki. Kebaikan yang dianggap baik oleh Allah. Berbeda dengan kebaikan menurut manusia. Terkadang kita menganggap sesuatu baik padahal sebenarnya tidak baik, karena keterbatasan pengetahuan terhadap hakikat sesuatu.

    Kata “al-barakah” juga mengandung makna kebaikan yang “berkembang”, “bertambah”, “melimpah” dan “terus-menerus”. Mencakup kebaikan yang bisa dirasakan dengan indera maupun akal.

    Makna ini disampaikan oleh Imam Abu Sa’ud ketika menafsirkan ayat pertama dari surat Al-Mulk, di dalam kitab tafsirnya “Irsyadul ‘Aqlis Salim”. 

    Kata “al-barakah” juga ada di dalam hadits. Misalnya dari kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Nabi bersabda :

     

    الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ ‌بَرَكَةُ ‌بَيْعِهِمَا

    “Penjual dan pembeli bisa membatalkan transaksi selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan memberi penjelasan sesuai kenyataan, niscaya transaksi keduanya diberkahi. Jika keduanya berdusta dan menutupi kekurangan, niscaya keberkahan transaksi dihilangkan oleh Allah.”

    Imam Nawawi mengatakan bahwa makna hilangnya keberkahan transaksi adalah hilangnya pertambahan dan perkembangan dari transaksi tersebut. 

    Contoh lain dari kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Nabi bersabda :

     

    تَسَحَّرُوا، فَإِنَّ فِي السُّحُورِ ‌بَرَكَةً

     

    “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam makan sahur ada keberkahan.”

     

    Di dalam hadits ini keberkahan dikaitkan dengan makan sahur. Yang merupakan salah satu sunnah ketika puasa. Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama sepakat makan sahur hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Nawawi juga menjelaskan beberapa bentuk keberkahan makan sahur. Diantaranya menjadi sebab bertambahnya kekuatan badan yang mendukung pelaksanaan puasa. Begitu juga dilihat dari kebaikan waktu sahur tersebut. Terutama jika kita mengisi waktu sahur dengan amalan-amalan seperti doa dan dzikir.

    Contoh terakhir dari kitab Shahih Muslim, hadits dari Jabir, tentang beberapa amalan yang dianjurkan berkaitan dengan makan. Nabi bersabda :

    إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا، فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا، وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ، وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

    “Jika ada satu suap makananmu jatuh, ambillah dan singkirkan kotoran yang menempel, kemudian makanlah. Jangan tinggalkan makanan tersebut untuk setan. Dan jangan mengusap tanganmu menggunakan sapu tangan sampai kamu menjilati jari-jemarimu. Sesungguhnya dia tidak mengetahui, di bagian mana keberkahan itu berada dari makanannya.”

     

    Di dalam hadits ini Nabi menganjurkan menjilati jari-jemari setelah makan, tujuannya adalah menjaga keberkahan makanan agar tidak hilang.

    Imam Nawawi berkata :

     

    فِي هذه الأحاديث أنواع من سُنَنِ الْأَكْلِ مِنْهَا اسْتِحْبَابُ لَعْقِ الْيَدِ مُحَافَظَةً عَلَى بَرَكَةِ الطَّعَامِ

     

    “Di dalam hadits-hadits ini ada beberapa macam sunnah-sunnah makan, diantaranya adalah dianjurkannya menjilati jari-jemari dalam rangka menjaga keberkahan makanan

    Keberkahan Al-Qur’an

    Di dalam pembahasan ini akan dipaparkan Sebagian ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Setelah sebelumnya kita mengetahui bahwa “keberkahan” identik dengan kebaikan yang melimpah dan bersifat terus-menerus.

    Pertama : Surat Al-An’am Ayat 92 dan 155 

    Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Di dalam surat Al-An’am ada dua ayat yang dengan tegas menyebutkan hal itu.

    Allah ‘azza wa jalla berfirman :

    وَهذا كِتابٌ أَنْزَلْناهُ مُبارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرى وَمَنْ حَوْلَها وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلى صَلاتِهِمْ يُحافِظُونَ

    “Ini (Al-Qur’an) adalah kitab suci yang telah Kami turunkan lagi diberkahi yang membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman pada (kehidupan) akhirat (tentu) beriman padanya (Al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (Al-An’am : 92)

    Ayat ini adalah bagian dari rangkaian ayat-ayat yang mengingkari orang-orang yang tidak mengakui Al-Qur’an. Dengan sikap ini lantas Allah menilai mereka sebagai orang-orang yang tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya.

    Ditinjau dari kaidah bahasa Arab, di dalam ayat ini kata “Kitabun”, yang artinya “Al-Qur’an”, disifati dengan kata “mubarak”, yang artinya “diberkahi”. Dari sini dapat dipahami bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan diberkahi. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas, tanpa kecuali. 

    Kata “mubarak” menurut Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah tempat menetapkan keberkahan dari Allah. [7] Sehingga menurut pengertian ini di dalam Al-Qur’an terkandung keberkahan dari Allah.

     

    Menurut Imam Abu Sa’ud, yang dimaksud “Al-Qur’an diberkahi” adalah faedah Al-Qur’an sangat banyak dan manfaatnya sangat besar.

     

    Syaikh Al-Jazairi juga berpendapat demikian. Menurut syaikh, Al-Qur’an diberkahi maksudnya adalah kebaikannya tidak akan terputus dan manfaatnya tidak akan berkurang sedikitpun. [9]

    Imam Ibnul Jauzi menyimpulkan, berdasarkan ayat tersebut tujuan Allah menurunkan Al-Qur’an adalah agar Nabi Muhammad memberi peringatan kepada umatnya dan karena Allah ingin memberi kebaikan serta manfaat yang melimpah tanpa henti kepada umat manusia melalui Al-Qur’an. 

    Masih dari surat yang sama, di ayat ke 155, Allah ‘azza wa jalla berfirman :

     

    وَهذا كِتابٌ أَنْزَلْناهُ مُبارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

    “(Al-Qur’an) ini adalah Kitab yang Kami turunkan lagi diberkahi. Maka, ikutilah dan bertakwalah agar kamu dirahmati.” (Al-An’am : 155)

    Menurut Imam Qurthubi makna kata “mubarak” di ayat ini adalah “katsirul khairat”, yaitu sangat banyaknya kebaikan yang dikandung Al-Qur’an. Hanya saja Imam Qurthubi tidak menjelaskan bentuk-bentuk kebaikan yang dimaksud. 

    Adapun menurut Imam Abu Sa’ud, maksud dari keberkahan Al-Qur’an adalah manfaat Al-Qur’an sangat banyak. Mencakup manfaat yang berkaitan dengan urusan dunia, termasuk manfaat yang berkaitan dengan urusan agama. Imam Abu Sa’ud juga menyimpulkan karena manfaat yang seperti inilah Allah memerintah kita mengikuti Al-Qur’an. 

    Menurut ahli tafsir yang lain, salah satu bentuk keberkahan Al-Qur’an adalah ilmu yang melimpah ruah yang ada di dalamnya. Al-Qur’an adalah sumber seluruh ilmu. Darinya keberkahan-keberkahan dihasilkan. Ini adalah pendapat dari syaikh As-Sa’di, penulis kitab tafsir “Taisirul Karimir Rahman

    Kedua ayat di atas sama-sama memberitahukan satu hal penting yaitu Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Perbedaannya ada pada rangkaian kalimat setelahnya. Ayat ke 92 ada penjelasan setelahnya mengenai ciri orang yang beriman kepada akhirat, yaitu senantiasa menjaga shalat. Sedangkan ayat ke 155, kalimat setelahnya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an.

    Sekaligus memberikan penjelasan bahwa dengan mengikuti Al-Qur’an kita akan dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Dan inilah sebab terbesar memperoleh rahmat dan kartunya keberkahan bagi orang orang yg mengamalkan nya dan mempelajari nya

  • Implementasi Prinsip Ekonomi Syariah dalam Pembiayaan Koperasi Syariah di Indonesia

    Implementasi Prinsip Ekonomi Syariah dalam Pembiayaan Koperasi Syariah di Indonesia

    Oleh: Bayu Umara
    Mahasiswa STEI SEBI

    Pendahuluan

    Koperasi Syariah adalah sebuah lembaga ekonomi yang memiliki tujuan untuk memajukan kesejahteraan anggota melalui prinsip-prinsip ekonomi Islam. Prinsip-prinsip tersebut berdasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang memberikan panduan dalam mendirikan dan menjalankan koperasi Syariah.Fatwa No: 141/DSN-MUI/VIII/2021 tentang Pedoman Pendirian dan Operasional Koperasi Syariah menyatakan bahwa koperasi Syariah boleh didirikan dan dioperasikan dengan syarat tunduk dan patuh pada ketentuan (dhawabith) dan batasan (hudud), mulai dari ketentuan pendirian, kelembagaan, permodalan dan kegiatan usaha, kegiatan sosial (tabarru’at), hingga akad. Koperasi Syariah mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi Islam, seperti larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan spekulasi, serta mendorong kepedulian sosial dalam setiap aktivitasnya. Koperasi Syariah bukan hanya mengutamakan keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama. Prinsip-prinsip ini dirancang untuk mengatasi ketidakadilan dan menghindari eksploitasi ekonomi yang merugikan masyarakat.

    Prinsip Ekonomi Syariah dalam Koperasi Syariah

    Koperasi syariah beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mencakup beberapa aspek utama, yaitu:

    1. Larangan Riba

    Dalam koperasi syariah, segala bentuk pembiayaan harus bebas dari unsur riba (bunga). Sebagai gantinya, koperasi syariah menggunakan skema akad yang sesuai dengan syariah seperti murabahah (jual beli), mudharabah (kemitraan usaha), dan musyarakah (kerja sama investasi).

    2. Prinsip Keadilan

    Koperasi syariah menekankan pada distribusi keuntungan yang adil dan transparan antara pihak koperasi dan anggotanya. Hal ini diterapkan melalui sistem bagi hasil yang proporsional berdasarkan kesepakatan awal.

    3. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS)

    Sebagian dari keuntungan koperasi syariah dialokasikan untuk program sosial melalui zakat, infaq, dan sedekah. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu.

    4. Menghindari Gharar dan Maysir

    Setiap transaksi yang dilakukan harus bebas dari unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (spekulasi). Dengan demikian, akad yang digunakan dalam pembiayaan harus jelas dan tidak merugikan salah satu pihak.

    5. Berorientasi pada Kesejahteraan Bersama

    Koperasi syariah tidak hanya berfokus pada keuntungan material, tetapi juga berusaha menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh anggotanya dengan mengedepankan prinsip tolong-menolong dan kebersamaan.

    Implementasi Pembiayaan dalam Koperasi Syariah

    koperasi syariah

    Pembiayaan dalam koperasi syariah dilakukan melalui berbagai mekanisme yang sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Beberapa bentuk pembiayaan yang umum digunakan antara lain:

    1. Pembiayaan Murabahah

    Dalam skema murabahah, koperasi membeli barang yang dibutuhkan oleh anggota, kemudian menjualnya kembali dengan margin keuntungan yang telah disepakati sebelumnya. Misalnya, koperasi membiayai pembelian kendaraan atau alat usaha bagi anggotanya.

    2. Pembiayaan Mudharabah

    Dalam akad mudharabah, koperasi syariah bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan anggota yang menerima pembiayaan bertindak sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan rasio yang disepakati.

    3. Pembiayaan Musyarakah

    Pada pembiayaan musyarakah, koperasi dan anggota sama-sama memberikan modal dan berpartisipasi dalam usaha yang dijalankan. Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan kontribusi modal masing-masing.

    4. Qardhul Hasan (Pinjaman Kebajikan)

    Koperasi syariah juga menyediakan pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan) bagi anggotanya yang membutuhkan, terutama dalam keadaan darurat atau untuk kepentingan sosial.

    Tantangan dan Solusi dalam Implementasi Pembiayaan Koperasi Syariah

    Meskipun koperasi syariah memiliki banyak manfaat, terdapat beberapa tantangan dalam implementasinya, seperti Kurangnya Pemahaman Masyarakat Banyak masyarakat yang masih belum memahami perbedaan antara koperasi syariah dan koperasi konvensional. Solusinya adalah meningkatkan edukasi dan literasi keuangan syariah melalui pelatihan dan sosialisasi. Keterbatasan Modal Koperasi syariah sering menghadapi kendala modal dalam menyalurkan pembiayaan kepada anggotanya. Untuk mengatasinya, koperasi dapat menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan syariah lainnya seperti Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan bank syariah. Regulasi yang Masih Berkembang Regulasi terkait koperasi syariah masih dalam tahap perkembangan dan belum sepenuhnya mendukung pertumbuhannya. Pemerintah diharapkan terus memperkuat regulasi agar koperasi syariah dapat berkembang lebih optimal.

    Kesimpulan

    Implementasi prinsip ekonomi syariah dalam pembiayaan koperasi syariah di Indonesia berperan penting dalam menciptakan sistem keuangan yang lebih adil, transparan, dan bebas riba. Dengan berbagai skema pembiayaan berbasis syariah seperti murabahah, mudharabah, dan musyarakah, koperasi syariah dapat menjadi solusi bagi masyarakat dalam memperoleh akses keuangan yang lebih inklusif. Namun, agar koperasi syariah dapat berkembang lebih pesat, diperlukan upaya edukasi, dukungan modal, serta regulasi yang lebih kuat dari pemerintah.

  • Inovasi dan Tantangan Perbankan Syariah di Era Digital

    Inovasi dan Tantangan Perbankan Syariah di Era Digital

     

    Di buat oleh: Bayu Umara
    Mahasiswa STEI SEBI

    Pendahuluan

    Perbankan syariah mengalami perkembangan pesat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap sistem keuangan berbasis Islam. Di era digital yang berkembang pesat, bank syariah terus berinovasi agar tetap bertahan dan bersaing dengan lembaga keuangan lainnya. Berbagai layanan dan produk terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nasabah serta mempermudah transaksi sehari-hari. Dengan kemajuan teknologi, bank syariah kini menyediakan berbagai aplikasi yang mempermudah transaksi dan aktivitas perdagangan. Hal ini memberikan kenyamanan serta kemudahan bagi nasabah dalam mengakses layanan perbankan syariah secara praktis dan efisien.

    Inovasi dalam Perbankan Syariah

    1. Digital Banking dan Mobile Banking Syariah

    Banyak bank syariah telah mengembangkan layanan digital banking dan mobile banking untuk memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi keuangan berbasis syariah. Aplikasi perbankan syariah kini menawarkan fitur seperti pembayaran zakat, infaq, dan wakaf, serta layanan investasi berbasis syariah.

    2. Fintech Syariah

    Fintech syariah menjadi inovasi penting yang memungkinkan masyarakat mengakses layanan keuangan berbasis syariah tanpa harus bergantung pada institusi perbankan tradisional.

    Beberapa fintech syariah yang berkembang meliputi:
    -Crowdfunding Syariah: Platform penggalangan dana berbasis akad syariah seperti musyarakah dan mudharabah.
    -Peer-to-Peer (P2P) Lending Syariah: Pinjaman berbasis syariah tanpa riba yang menghubungkan peminjam dan pemberi dana.
    – E-Wallet Syariah: Dompet digital dengan fitur transaksi halal yang sesuai dengan prinsip syariah.

    3. Blockchain dan Smart Contract dalam Keuangan Syariah

    Teknologi blockchain menawarkan transparansi dan keamanan yang lebih baik dalam transaksi keuangan syariah. Dengan smart contract, akad dalam transaksi syariah dapat dilakukan secara otomatis dengan sistem yang lebih terpercaya dan efisien.

     

    Tantangan Perbankan Syariah di Era Digital

    perbankan syariah

    1. Regulasi dan Kepatuhan Syariah

    Meskipun inovasi berkembang pesat, perbankan syariah harus tetap memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Regulasi yang masih berkembang menjadi tantangan utama dalam mengadaptasi teknologi digital dalam sistem keuangan syariah.

    2. Kurangnya Literasi Keuangan Syariah

    Banyak masyarakat yang belum memahami konsep keuangan syariah dan manfaatnya. Literasi keuangan syariah yang rendah membuat adopsi layanan perbankan syariah berbasis digital berjalan lebih lambat dibandingkan bank konvensional.

    3. Keamanan Siber dan Perlindungan Data

    Dengan meningkatnya digitalisasi, risiko keamanan siber juga semakin besar. Bank syariah harus memastikan perlindungan data nasabah dan keamanan transaksi agar tetap dipercaya oleh masyarakat.

    4. Persaingan dengan Bank Konvensional dan Fintech Non-Syariah

    Perbankan syariah harus bersaing dengan bank konvensional yang memiliki teknologi lebih maju serta fintech non-syariah yang menawarkan layanan lebih fleksibel. Untuk tetap kompetitif, bank syariah harus terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanannya.

    Kesimpulan

    Inovasi digital dalam perbankan syariah membuka peluang besar untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan efisiensi. Namun, tantangan seperti regulasi, literasi keuangan, keamanan siber, dan persaingan dengan bank konvensional harus diatasi agar perbankan syariah dapat berkembang lebih baik di era digital. Dengan strategi yang tepat, perbankan syariah dapat menjadi pilar utama dalam sistem keuangan yang adil dan berkelanjutan.

  • Manajemen Resiko Praktek Pembiayaan Akad Salam

    Manajemen Resiko Praktek Pembiayaan Akad Salam

     

    Nama : Aldi Saputra
    Prodi : Hukum Ekonomi Syariah
    Kampus : Stei Sebi

     

    Akad salam adalah salah satu akad yang penting dalam ekonomi syariah dan perbankan syariah. Karakteristik akad ini sangat lah unik, untuk membedakannya dari jenis akad lainnya dan sering digunakan dalam sektor pertanian dan perdagangan. Akad salam juga dapat di memainkan peran penting dalam memastikan keadilan dan menghindari riba atau bunga dalam transaksi ekonomi.

    Lalu, apa sebenarnya arti akad salam dan seperti apa apa yang kita tidak mengatahui terkait akad salam dan berikut ini mungkin ada beberapa penjelasan lengkapnya pada karya artikel yang saya buat ini.

    Akad salam adalah jenis akad jual beli di mana pembayaran dilakukan di muka, sementara barang yang dibeli akan diserahkan di kemudian hari nya. Dalam istilah sederhana, pembeli membayar terlebih dahulu untuk barang yang akan diserahkan di masa akan mendatang.

    Biasanya, akad salam digunakan dalam perdagangan komunitas dan produk pertanian. Tujuan utama dari akad salam ialah untuk memungkinkan produsen mendapatkan dana awal yang diperlukan untuk di produksi.

    Namun, agar lebih sesuai syariah, barang yang dibeli harus spesifik, kualitas dan kuantitas pun harus sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

    Jika barang tidak sesuai atau tidak dapat diserahkan pada waktu yang telah disepakati, penjual harus mengembalikan pembayaran atau memberikan kompensasi yang adil kepada pembeli prinsip syariah.

    Salam merupakan akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman yang ditangguhkan dikemudian hari oleh penjual dan pembayaran dilakukan diawal oleh pembeli ketika akad disepakati. 

    Pada prosesnya, transaksi akad salam terjadi setelah adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli akan jenis, jumlah dan harga barang yang akan diperjual belikan. Kemudian, kedua pihak sepakat untuk melakukan transaksi dengan syarat pembayaran dilakukan tunai pada saat transaksi itu berlanjut, namun pengiriman barang akan dilakukan di kemudian hari sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.

    Selain itu, waktu dan tempat penyerahan juga harus ditentukan pada saat terjadinya kontrak.

    Akad salam diatur oleh beberapa ketentuan syariah yang ketat untuk menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Selain pembayaran harus dilakukan penuh di muka, penjual juga harus menjamin pengiriman barang sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati

    Prinsip utama yang mengatur akad salam adalah larangan riba atau bunga. Dalam Islam, riba yang dianggap sebagai dosa besar. Akad salam mematuhi prinsip syariah dengan memungkinkan pembayaran penuh di awal tanpa adanya biaya atau bunga tambahan.

    Hal ini menjadikan akad salam sebagai instrumen keuangan yang halal di dalam Islam.

    akad salam

    Keadilan merupakan prinsip penting dalam akad salam. Pembayaran penuh di awal memastikan bahwa pembeli dan penjual memperoleh hak dan kewajiban yang adil dalam transaksi.

    Dengan demikian, ketidakadilan dalam transaksi ekonomi dapat lebih dihindari.dan di jauhi dan

    Pembayaran Penuh di Awal Salah satu fitur penting dari akad salam adalah pembayaran penuh di awal. Ini berarti bahwa pembeli harus membayar seluruh harga barang sebelum menerima barang tersebut.

    Sedangkan Tujuan pembayaran penuh di awal ini agar sesuai dengan prinsip keadilan dan menghindari riba.

    Dalam akad salam, perjanjian harus jelas dan pasti. Penjual harus menyebutkan dengan jelas deskripsi dan spesifikasi barang atau jasa yang akan diserahkan. Bertujuan agar terhindar dari adanya keraguan atau ketakutan dalam bertransaksi.

    Kepemilikan barang atau jasa harus dipindahkan secara sah dalam akad salam. Setelah pembayaran dilakukan, barang tersebut menjadi milik pembeli, meskipun pengiriman akan dilakukan pada masa yang akan datang. Rukun dan Ketentuan Akad Salam

    Agar akad salam sah menurut syariah, terdapat beberapa rukun dan ketentuan yang harus dipenuhi.

    Inti dari akad salam adalah kesepakatan antara dua belah pihak, yaitu pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih), untuk melakukan transaksi jual beli.

    Pembayaran penuh di awal adalah syarat mutlak, dan penyerahan barang atau jasa dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan.

    Pihak-pihak yang Berakad (Muslim & Muslam Ilaih)

    Muslam atau juga yang di sebut pembeli pihak yang membeli barang itu tersebut atau jasa melalui akad salam dan melakukan pembayaran penuh di awal.

    Sedangkan Muslam Ilaih penjual Pihak yang menjual barang atau jasa melalui akad salam dan bertanggung jawab untuk mengirimkan barang atau jasa sesuai perjanjian akad salam itu tersebut semoga apa apa yang kita mengatahui tentang akad salam di jauh kan dari yang nama riba atau bunga uang dan kita semua selalu di lindungi Allah swt aamiin.

     

  • Wakaf atau Sedekah: Pilihan Amal yang Membawa Keberkahan

    Wakaf atau Sedekah: Pilihan Amal yang Membawa Keberkahan

    Wakaf dan sedekah adalah dua bentuk ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan luar biasa. Keduanya memberikan peluang besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan sosial. Namun, di antara keduanya, sering muncul pertanyaan: mana yang lebih mendatangkan keberkahan? Memahami perbedaan antara keduanya dapat membantu kita menentukan amal mana yang lebih sesuai dengan kondisi dan niat kita.

    Wakaf adalah bentuk amal yang memiliki nilai jangka panjang. Dengan wakaf, seseorang melepaskan hak kepemilikan atas suatu aset, seperti tanah, bangunan, atau dana, untuk digunakan demi kepentingan umat. Misalnya, tanah wakaf bisa dimanfaatkan untuk membangun sekolah, masjid, atau fasilitas kesehatan. Nilai keutamaan wakaf terletak pada keberlanjutannya. Selama aset tersebut dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, manfaatnya akan terus mengalir, bahkan hingga pewakaf telah tiada. Rasulullah SAW bersabda,

    إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

    Artinya: “Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim No. 1631).

    Dalam hal ini, wakaf menjadi bentuk sedekah jariyah yang dampaknya dirasakan secara luas dan dalam waktu yang panjang.

    Namun, wakaf bukan hanya sekadar amal ibadah. Ia juga memerlukan tanggung jawab besar, baik dari sisi pewakaf maupun pengelola asetnya. Aset wakaf harus tetap utuh dan digunakan secara produktif agar keberkahannya tetap terjaga. Sebagai contoh, sebuah tanah yang diwakafkan untuk pertanian harus dikelola dengan bijak sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa merusak nilai pokoknya. Dengan demikian, wakaf tidak hanya memberikan manfaat spiritual bagi pewakaf, tetapi juga menjadi solusi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

    Di sisi lain, sedekah menawarkan fleksibilitas yang tidak dimiliki wakaf. Sedekah dapat dilakukan kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja, seperti uang, makanan, tenaga, atau bahkan sekadar memberikan senyuman kepada sesama. Sedekah memberikan manfaat yang langsung dirasakan oleh penerimanya. Misalnya, memberikan makanan kepada seseorang yang kelaparan atau membantu biaya pengobatan orang sakit. Sifat sedekah yang cepat dan praktis ini membuatnya menjadi amal yang dapat menjadi solusi bagi kebutuhan mendesak.

    wakaf atau sedekah

    Keindahan sedekah terletak pada keikhlasan dan niat pelakunya. Jumlah atau bentuknya mungkin sederhana, tetapi dampaknya sangat besar, terutama bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Sedekah juga memiliki keutamaan spiritual, yaitu membersihkan hati dari sifat kikir dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Dengan demikian, sedekah menjadi cara yang mudah untuk mendapatkan keberkahan dari Allah SWT tanpa harus menunggu memiliki harta berlebih.

    Antara wakaf dan sedekah, keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Wakaf menjadi pilihan tepat bagi mereka yang ingin meninggalkan warisan amal yang terus mengalir, sementara sedekah lebih sesuai bagi mereka yang ingin membantu secara langsung dalam waktu dekat. Keduanya saling melengkapi dan tidak perlu dipertentangkan. Jika memungkinkan, memadukan keduanya adalah pilihan yang bijak. Kita bisa bersedekah rutin untuk kebutuhan sehari-hari, sambil merencanakan wakaf sebagai bentuk amal jangka panjang.

    Pada akhirnya, keberkahan dari amal tidak hanya ditentukan oleh bentuknya, tetapi juga oleh niat dan keikhlasan hati. Allah SWT menilai amal kita dari ketulusan, bukan dari besar kecilnya pemberian. Dengan berusaha konsisten dalam melakukan kebaikan, baik melalui wakaf maupun sedekah, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga membangun tabungan pahala untuk bekal di akhirat kelak.

    Mari jadikan setiap kesempatan sebagai momen untuk berbuat baik. Wakaf dan sedekah adalah jalan menuju keberkahan, baik di dunia maupun akhirat. Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita untuk terus beramal dengan ikhlas, sesuai dengan kemampuan, demi memberikan manfaat yang besar bagi sesama.

    Penulis: Habibi Abdul Azis (Mahasiswa STEI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)