Tag: Ibadah

  • Wakaf atau Sedekah: Pilihan Amal yang Membawa Keberkahan

    Wakaf atau Sedekah: Pilihan Amal yang Membawa Keberkahan

    Wakaf dan sedekah adalah dua bentuk ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan luar biasa. Keduanya memberikan peluang besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan sosial. Namun, di antara keduanya, sering muncul pertanyaan: mana yang lebih mendatangkan keberkahan? Memahami perbedaan antara keduanya dapat membantu kita menentukan amal mana yang lebih sesuai dengan kondisi dan niat kita.

    Wakaf adalah bentuk amal yang memiliki nilai jangka panjang. Dengan wakaf, seseorang melepaskan hak kepemilikan atas suatu aset, seperti tanah, bangunan, atau dana, untuk digunakan demi kepentingan umat. Misalnya, tanah wakaf bisa dimanfaatkan untuk membangun sekolah, masjid, atau fasilitas kesehatan. Nilai keutamaan wakaf terletak pada keberlanjutannya. Selama aset tersebut dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, manfaatnya akan terus mengalir, bahkan hingga pewakaf telah tiada. Rasulullah SAW bersabda,

    إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

    Artinya: “Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim No. 1631).

    Dalam hal ini, wakaf menjadi bentuk sedekah jariyah yang dampaknya dirasakan secara luas dan dalam waktu yang panjang.

    Namun, wakaf bukan hanya sekadar amal ibadah. Ia juga memerlukan tanggung jawab besar, baik dari sisi pewakaf maupun pengelola asetnya. Aset wakaf harus tetap utuh dan digunakan secara produktif agar keberkahannya tetap terjaga. Sebagai contoh, sebuah tanah yang diwakafkan untuk pertanian harus dikelola dengan bijak sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa merusak nilai pokoknya. Dengan demikian, wakaf tidak hanya memberikan manfaat spiritual bagi pewakaf, tetapi juga menjadi solusi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

    Di sisi lain, sedekah menawarkan fleksibilitas yang tidak dimiliki wakaf. Sedekah dapat dilakukan kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja, seperti uang, makanan, tenaga, atau bahkan sekadar memberikan senyuman kepada sesama. Sedekah memberikan manfaat yang langsung dirasakan oleh penerimanya. Misalnya, memberikan makanan kepada seseorang yang kelaparan atau membantu biaya pengobatan orang sakit. Sifat sedekah yang cepat dan praktis ini membuatnya menjadi amal yang dapat menjadi solusi bagi kebutuhan mendesak.

    wakaf atau sedekah

    Keindahan sedekah terletak pada keikhlasan dan niat pelakunya. Jumlah atau bentuknya mungkin sederhana, tetapi dampaknya sangat besar, terutama bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Sedekah juga memiliki keutamaan spiritual, yaitu membersihkan hati dari sifat kikir dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Dengan demikian, sedekah menjadi cara yang mudah untuk mendapatkan keberkahan dari Allah SWT tanpa harus menunggu memiliki harta berlebih.

    Antara wakaf dan sedekah, keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Wakaf menjadi pilihan tepat bagi mereka yang ingin meninggalkan warisan amal yang terus mengalir, sementara sedekah lebih sesuai bagi mereka yang ingin membantu secara langsung dalam waktu dekat. Keduanya saling melengkapi dan tidak perlu dipertentangkan. Jika memungkinkan, memadukan keduanya adalah pilihan yang bijak. Kita bisa bersedekah rutin untuk kebutuhan sehari-hari, sambil merencanakan wakaf sebagai bentuk amal jangka panjang.

    Pada akhirnya, keberkahan dari amal tidak hanya ditentukan oleh bentuknya, tetapi juga oleh niat dan keikhlasan hati. Allah SWT menilai amal kita dari ketulusan, bukan dari besar kecilnya pemberian. Dengan berusaha konsisten dalam melakukan kebaikan, baik melalui wakaf maupun sedekah, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga membangun tabungan pahala untuk bekal di akhirat kelak.

    Mari jadikan setiap kesempatan sebagai momen untuk berbuat baik. Wakaf dan sedekah adalah jalan menuju keberkahan, baik di dunia maupun akhirat. Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita untuk terus beramal dengan ikhlas, sesuai dengan kemampuan, demi memberikan manfaat yang besar bagi sesama.

    Penulis: Habibi Abdul Azis (Mahasiswa STEI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

  • Memilih Pendapat Fiqih yang Memudahkan Bukanlah Mempermudah Secara Berlebihan

    Memilih Pendapat Fiqih yang Memudahkan Bukanlah Mempermudah Secara Berlebihan

    Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam sering kali dihadapkan pada berbagai persoalan fiqih yang memiliki lebih dari satu pandangan ulama. Kedua pandangan tersebut seringkali didukung oleh dalil yang kuat, baik dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas maupun sumber-sumber lain. Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk memahami prinsip-prinsip fiqih yang memudahkan, atau sering disebut fiqih taisir, guna membantu umat menunaikan kewajiban dengan lebih ringan tanpa mengabaikan ketentuan syariat.

    Islam adalah agama yang penuh rahmat dan tidak pernah dimaksudkan untuk memberatkan umatnya. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,

    هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

    “…. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama….” (QS. Al-Hajj: 78).

    Ayat tersebut menjelaskan prinsip dasar dalam syariat Islam, yaitu kemudahan dan keluwesan yang selaras dengan fitrah manusia. Rasulullah SAW pun dalam berbagai kesempatan menekankan hal serupa. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a.,

    عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَسرُوا وَلَا تُعَبِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِرُوا

    “Dari Anas r.a., Rasulullah saw. Bersabda, ‘Permudahlah dan jangan mempersulit. Berikanlah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti.” (HR Muttafaq ‘alaih)

    Hadits tersebut menjadi landasan kuat bagi ulama untuk mengutamakan pendapat yang memudahkan umat selama tetap berada dalam ketentuan syariat.

    Fiqih taisir bukanlah bentuk kompromi terhadap hukum Allah, melainkan upaya untuk memastikan bahwa agama ini dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa menimbulkan kesulitan yang tidak perlu. Memilih pendapat yang memudahkan bukan berarti mencari jalan pintas atau mengambil pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu. Pendapat yang diambil harus memiliki landasan dalil yang kuat, baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun pertimbangan maslahat nyata. Prinsip ini juga tidak berarti mempermudah secara berlebihan hingga mengabaikan batasan syariat. Justru, fiqih taisir hadir untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan kewajiban syariat dan kemampuan individu atau masyarakat dalam menjalankannya.

    persoalan fiqih

    Contoh nyata penerapan prinsip ini dapat dilihat dalam perbedaan pendapat ulama mengenai jual beli emas secara tidak tunai. Sebagian ulama salaf melarang praktik ini karena dianggap termasuk riba nasi’ah, namun ulama kontemporer memperbolehkannya dengan alasan bahwa emas saat ini lebih dianggap sebagai komoditas daripada mata uang. Dengan memahami perubahan konteks zaman, pendapat yang memudahkan ini membantu umat dalam memenuhi kebutuhan mereka tanpa melanggar prinsip-prinsip syariat.

    Begitu pula dalam jual beli online, yang semakin marak di era digital ini. Selama transaksi dilakukan dengan jelas, barang halal, spesifikasinya jelas, dan hak pembeli dijaga, maka praktik ini diperbolehkan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Islam tidak mempersulit umatnya dalam mengikuti perkembangan zaman, asalkan tetap dalam ketentuan syariat. Hal yang sama berlaku untuk transaksi menggunakan fintech payment, yang difatwakan halal selama memenuhi ketentuan jual beli yang sesuai dengan prinsip syariah.

    Namun, penting untuk dipahami bahwa kemudahan yang diberikan dalam fiqih bukanlah alasan untuk mengabaikan kehati-hatian dalam menjalankan syariat. Ada kondisi tertentu di mana seorang ahli fiqih atau ulama mungkin memilih pendapat yang lebih hati-hati untuk dirinya sendiri, tetapi ketika memberikan fatwa kepada masyarakat umum, mereka dianjurkan untuk memilih pendapat yang lebih mudah. Ini karena tidak semua orang memiliki kapasitas untuk memahami atau melaksanakan pendapat yang lebih rumit, sehingga memilih pendapat yang memudahkan adalah bagian dari menjaga maslahat umat.

    Rasulullah SAW juga memberikan teladan yang jelas dalam hal ini. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.,

    عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ بِهَا.

    “Dari Aisyah r.a., dia berkata, Jika Rasulullah diberikan pilihan antara dua hal, beliau memilih yang mudah selama bukan perkara dosa. Akan tetapi, jika pilihan itu dosa, beliau adalah orang yang paling jauh dari pilihan itu. Dan, Rasulullah tidak akan membenci (marah atau memusuhi) karena kepentingan pribadi, kecuali jika kehormatan Allah yang dinodai, beliau akan marah karena Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

    Hadits tersebut menjadi pedoman bagi para ulama dan ahli fiqih untuk selalu mengedepankan kemudahan bagi umat dalam menjalankan agama, selama tidak bertentangan dengan syariat.

    Fiqih taisir juga memperhatikan kondisi khusus yang disebut umum al-balwa, yaitu masalah yang sulit dihindari oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, syariat memberikan kelonggaran agar umat tidak terbebani dengan kewajiban yang melampaui kemampuan mereka. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memandang hukum sebagai aturan kaku, tetapi juga sebagai solusi yang adaptif dan relevan dengan realitas kehidupan.

    Sebagai penutup, memilih pendapat fiqih yang memudahkan adalah wujud dari rahmat Allah SWT yang menjadikan agama ini mudah untuk diamalkan oleh semua umat manusia. Dengan tetap berpegang pada syariat dan mempertimbangkan maslahat yang nyata, fiqih taisir memastikan bahwa Islam tetap relevan dan dapat diimplementasikan di berbagai konteks zaman dan tempat. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa agama adalah untuk memudahkan, bukan mempersulit, sehingga umat dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan hati.

    Penulis: Habibi Abdul Azis (Mahasiswa STEI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

  • Aktivitas Hati: Fondasi yang Sering Terlupakan dalam Beribadah

    Aktivitas Hati: Fondasi yang Sering Terlupakan dalam Beribadah

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Ikhwah fillah rahimakumullah, aktivitas hati mungkin terdengar serasa asing bagi sebagian orang, padahal aktivitas hati adalah bagian penting dalam hidup kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, hati diibaratkan sebagai remote control bagi hidup kita, jika hati itu baik maka baik pula seluruh tubuh manusia, begitu juga sebaliknya, jika hati itu buruk maka seluruh tubuh manusia itu menjadi buruk.

    Hati mengontrol tubuh kita untuk melakukan suatu perbuatan dan juga untuk tidak melakukan suatu perbuatan, oleh karena itu hati perlu kita jaga dan rawat jangan sampai terkotori oleh sifat-sifat yang tidak baik, karena jika kita membiasakan diri untuk mensucikan diri membersihkan hati insyaallah apa yang kita perbuat akan lebih produktif dan bermanfaat.

    Sebagai seorang muslim yang juga berusaha mendalami ajaran agama, saya sering merenungkan fenomena ini. Bukankah Rasulullah SAW telah mengingatkan kita tentang pentingnya hati?

    Dalam sebuah hadits yang sangat populer, beliau mengibaratkan hati sebagai “segumpal daging” yang menentukan baik buruknya seluruh tubuh. Namun ironisnya, kita seringkali lebih fokus pada aspek kuantitas ibadah dibandingkan kualitas hati yang menjalankannya. Mari kita jujur pada diri sendiri.

    Berapa kali kita melakukan ibadah hanya karena “kebiasaan”? Berapa banyak sedekah yang kita berikan dengan setengah hati? Atau bahkan, berapa sering kita melakukan ibadah karena ingin dipuji orang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya membuat kita berhenti sejenak dan melakukan introspeksi diri.

    Saya teringat sebuah pengalaman pribadi ketika melaksanakan shalat. Meskipun telah mempersiapkan fisik dengan baik, saya merasa ada yang kurang dalam ibadah tersebut. Setelah berefleksi, saya menyadari bahwa persiapan hati saya tidak sebanding dengan persiapan fisik yang telah dilakukan.

    Sejak saat itu, saya mulai memahami bahwa aktivitas hati seharusnya mendahului aktivitas fisik dalam beribadah. Dalam pengamatan saya, ada beberapa alasan mengapa kita sering mengabaikan aktivitas hati:

    Pertama, aktivitas hati tidak kasat mata. Berbeda dengan ibadah fisik yang bisa dilihat dan “diukur”, kondisi hati bersifat abstrak. Kita tidak bisa memotretnya untuk media sosial atau mendapat pujian langsung dari orang lain.

    Kedua, membersihkan hati jauh lebih sulit daripada melakukan ibadah fisik. Menahan diri dari riya’ (pamer), hasad (iri), dan ujub (bangga diri) membutuhkan perjuangan yang jauh lebih berat dibandingkan menjalankan puasa atau menghadiri majelis ilmu.

    Ketiga, kita hidup di era yang mengutamakan “penampilan”. Media sosial semakin menguatkan kecenderungan ini, di mana validasi eksternal seringkali lebih dicari daripada ketenangan batin.

    Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyarankan beberapa langkah praktis:

    1. Mulailah setiap hari dengan muhasabah (introspeksi diri). Luangkan waktu 5-10 menit sebelum memulai aktivitas untuk memeriksa kondisi hati kita, perbanyaklah dzikir agar hati menjadi tentram.
    2. Sebelum melakukan ibadah apapun, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini?”, ketika kita ingin melakukan ibadah apapun niatkan dalam hati karena Allah.
    3. Kurangi “publikasi ibadah” di media sosial. Tidak semua kebaikan perlu diketahui publik. Jangan terlalu banyak posting ibadah karena itu bisa mendatangkan rasa ujub dan riya.
    4. Rutinkan membaca Al-Quran dengan tadabbur (perenungan), bukan sekadar target bacaan. Renungi isi makna yang terkandung dalam bacaan al-quran, dan cari asbabun nuzulnya.
    5. Bergaullah dengan orang-orang yang lebih mementingkan substansi daripada penampilan dalam beragama. Cari teman yang mempunyai wawasan ilmu agama yang luas agar bisa lebih paham tentang agama.

    Saya yakin, jika kita mulai memberikan perhatian lebih pada aktivitas hati, kualitas ibadah kita akan meningkat secara signifikan. Ibadah tidak lagi sekadar rutinitas, tetapi menjadi sarana penghubung yang bermakna dengan Allah SWT.

    Sebagai penutup, saya mengajak kita semua untuk merenungkan kembali prioritas kita dalam beribadah. Mungkin sudah saatnya kita “berhenti sejenak” dari kesibukan ibadah fisik dan mulai memberikan perhatian lebih pada pembersihan hati.

    Karena bagaimanapun, Allah SWT tidak melihat bentuk fisik atau banyaknya amalan kita, tetapi Dia melihat hati dan ketulusan dalam setiap amalan yang kita lakukan.

    Semoga renungan ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk mulai memprioritaskan aktivitas hati sebelum aktivitas fisik dalam perjalanan spiritual kita.

    Profil penulis:

    Muhammad Itmammudin merupakan mahasiswa aktif sekolah tinggi ekonomi Islam SEBI Depok, program studi Hukum ekonomi syari’ah.