Category: Hukum

  • Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat

    Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat

     

    Penulis: Habibi Abdul Azis

    (Mahasiswa IAI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

    Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk akad dalam fikih muamalah yang hingga kini masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Praktik ini muncul sebagai solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya ketika seseorang membutuhkan dana mendesak dengan cara menjaminkan barang berharga yang dimilikinya.

    Dalam tradisi masyarakat, gadai dilakukan tidak hanya melalui lembaga formal seperti Pegadaian, tetapi juga secara informal antar individu dengan mekanisme yang lebih sederhana dan berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa gadai memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut, berikut penjelasan selengkapnya.

    Definisi Gadai

    Secara bahasa, gadai atau rahn berarti menahan sebuah barang dalam jangka waktu tertentu. Dalam istilah Arab juga dikenal kata al-habsu, yang artinya menahan barang sebagai jaminan pelunasan utang. Jadi, pada dasarnya, gadai adalah praktik menahan harta sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Barang yang digadaikan ini menjadi penopang agar utang bisa terjamin.

    Secara istilah, ar-rahn dimaknai sebagai menahan harta milik peminjam sebagai jaminan utang, dengan catatan barang tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan begitu, pihak pemberi pinjaman punya hak untuk mengambil kembali sebagian atau seluruh piutangnya melalui barang jaminan tersebut, bila peminjam tidak mampu melunasi utangnya.

    Para ulama fikih punya pandangan yang beragam soal definisi rahn. Ulama Mazhab Maliki menyebutnya sebagai harta yang dijadikan jaminan utang dan bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi menekankan bahwa barang jaminan itu bisa dipakai untuk melunasi utang, baik sebagian maupun seluruhnya.

    Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali memandang rahn sebagai sebuah akad yang menjadikan barang sebagai agunan, yang bisa dipakai melunasi utang kalau pemiliknya tidak mampu membayar.

    Dasar Hukum Gadai

    1. Al-Qur’an

    Hukum gadai punya landasan kuat dalam Al-Qur’an. Salah satunya ada di surat Al-Baqarah ayat 283, ketika Allah SWT berfirman:

     

    وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

    Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

    Dari ayat ini, dijelaskan bahwa dalam kondisi tertentu misalnya saat bepergian dan tidak ada pencatat transaksi Allah SWT memperbolehkan penggunaan barang jaminan (marhun) untuk memperkuat perjanjian utang piutang. Intinya, barang jaminan hadir sebagai alat menjaga kepercayaan agar pemberi pinjaman tidak ragu dengan pihak peminjam.

    1. Hadis

    Selain dari Al-Qur’an, dalil tentang gadai juga ada dalam hadis. Misalnya riwayat Imam al-Bukhari nomor 2330, ketika Aisyah ra. berkata:

    حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

    Artinya: “Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi tersebut.” (HR. Bukhari, no. 2330).

    Hadis ini jadi bukti bahwa transaksi gadai boleh dilakukan, bahkan dengan non-Muslim, termasuk dalam akad jual beli. Syaratnya, objek transaksi merupakan barang halal dan pihak non-Muslim tersebut bukan golongan kafir harbi (yang memerangi Islam). Sebagaimana pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani, selama syarat-syarat tersebut terpenuhi, akad gadai tetap sah.

    Kesimpulannya, akad gadai dalam Islam hukumnya jaiz (boleh). Ulama sepakat kalau praktik ini tidak hanya berlaku saat safar, tapi juga sah dilakukan ketika menetap, sebagaimana pernah dicontohkan Nabi SAW di Madinah.

    Rukun dan Syarat Gadai

    Rukun Gadai

    1. ‘Aqid: Yaitu pihak-pihak yang berakad: rahin (orang yang menggadaikan barang) dan murtahin (pemberi pinjaman yang menerima barang gadai).
    2. Shighat: Ijab dan qabul yang diucapkan kedua belah pihak sebagai tanda sahnya akad.
    3. Marhun: Barang atau objek yang dijadikan jaminan.

    Marhun bih: Utang atau sejumlah uang yang jadi dasar akad rahn, sesuai kesepakatan bersama.

    Syarat Gadai

    1. Syarat ‘Aqid

    Baik rahin maupun murtahin harus orang yang cakap hukum, yakni berakal sehat, baligh, dan mampu melakukan akad. Kalau salah satunya tidak memenuhi syarat, akad jadi tidak sah.

    1. Syarat Shighat

    Ucapan ijab dan qabul harus jelas serta tidak boleh mengandung syarat yang merusak akad. Misalnya, syarat bahwa barang jaminan tidak boleh dijual meskipun peminjam gagal membayar utang, maka syarat itu otomatis batal.

    1. Syarat Marhun (barang jaminan)
    1. Bisa diperjualbelikan.
    2. Bermanfaat menurut syariat.
    3. Jelas dan diketahui dengan pasti.
    4. Milik penuh dari rahin (penggadai).
    5. Terpisah dari kepemilikan orang lain (tidak boleh barang bersama).
    1. Syarat Marhun bih (utang)
    1. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi pinjaman.
    2. Harus bisa dilunasi melalui barang jaminan (marhun).
    3. Jelas dan pasti, baik zat, sifat, maupun jumlahnya.

    Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa gadai (rahn) dalam Islam bukan hanya sekadar praktik ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengandung nilai sosial. Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai definisi, dasar hukum, rukun, dan syarat gadai agar akad ini berjalan sesuai prinsip keadilan dan saling tolong-menolong.

    Dengan memahami ketentuan tersebut, masyarakat dapat menjalankan praktik gadai tanpa keluar dari ketentuan syariat, sekaligus menjadikannya sebagai solusi yang aman dan bermanfaat dalam menghadapi kebutuhan finansial sehari-hari.

  • Kondisi Hukum di Indonesia Saat Ini: Antara Tantangan dan Harapan

    Kondisi Hukum di Indonesia Saat Ini: Antara Tantangan dan Harapan


    Penulis:
    BAYU UMARA

     

    Pendahuluan

    Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan hukum sebagai landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Namun, realitas pelaksanaan hukum di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, meskipun harapan akan perbaikan dan reformasi tetap terus menyala di tengah masyarakat.

    Tantangan Penegakan Hukum

    Salah satu tantangan utama dalam sistem hukum Indonesia saat ini adalah masih maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terutama di lembaga penegak hukum itu sendiri.

    Kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, menjadi ironi yang mencederai kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, menunjukkan masih adanya ketimpangan dalam perlakuan hukum. Selain itu, inkonsistensi penegakan hukum  juga menjadi persoalan serius.

    Dalam banyak kasus, hukum dipraktikkan secara tidak adil atau bahkan diskriminatif, baik dalam ranah pidana, perdata, maupun administratif.

    Perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dan kelompok elite menjadi sorotan yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum. Tantangan lainnya adalah overlapping regulasi dan lemahnya sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan.

    Banyak produk hukum yang tumpang tindih, tidak sinkron, bahkan bertentangan satu sama lain, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini menyulitkan pelaksanaan hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.

    Tantangan di Bidang Legislasi

    Dalam hal legislasi, DPR sebagai lembaga legislatif sering mendapat kritik atas minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang.

    Beberapa undang-undang yang disahkan dalam waktu singkat, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat sipil yang merasa aspirasi mereka diabaikan.

    Proses legislasi yang tertutup dan minim transparansi ini menjadi catatan buruk bagi demokrasi hukum di Indonesia.

    Harapan dan Peluang Perbaikan

    Meski banyak tantangan, harapan akan perbaikan hukum di Indonesia tetap terbuka lebar. Masyarakat sipil kini semakin sadar hukum dan aktif dalam mengawal proses legislasi dan penegakan hukum.

    Keterlibatan masyarakat dalam advokasi hukum, judicial review, hingga demonstrasi menunjukkan bahwa kontrol sosial terhadap kekuasaan masih berjalan. Reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, seperti upaya pembenahan internal di tubuh Polri dan Kejaksaan, juga merupakan langkah positif yang perlu terus didorong.

    Penerapan teknologi informasi seperti  e-court, e-tilang, dan  SPPT-TI (Sistem Penanganan Perkara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi)  merupakan inovasi yang mendukung transparansi dan efisiensi dalam sistem peradilan.

    Di sisi lain, lembaga-lembaga pengawasan seperti  Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan  Ombudsman  perlu diperkuat baik secara kelembagaan maupun kewenangannya, agar dapat menjalankan fungsi pengawasan secara optimal tanpa intervensi dari kekuasaan politik.

    Pendidikan dan Budaya Hukum

    Penting pula untuk membangun *budaya hukum* di tengah masyarakat. Pendidikan hukum sejak dini, baik melalui institusi formal maupun kampanye publik, dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

    Ketika masyarakat melek hukum, maka kontrol terhadap aparat penegak hukum juga akan lebih kuat, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalisir.

    Kesimpulan

    Kondisi hukum di Indonesia saat ini masih diliputi berbagai tantangan mulai dari korupsi, diskriminasi hukum, hingga lemahnya legislasi.

    Namun demikian, harapan tetap terbuka melalui partisipasi masyarakat, reformasi kelembagaan, serta pemanfaatan teknologi.

    Diperlukan sinergi antara pemerintah, penegak hukum, akademisi, dan masyarakat untuk mewujudkan sistem hukum yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

    Hanya dengan komitmen bersama, Indonesia dapat benar-benar menjadi negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.